• SMP MODERN AL RIFA IE
  • Sekolahnya Para Juara

CERITA PENDEK

RARA IRENG

Karya Ananda Zahra Margareta

 

Teriknya mentari menemani jenjang langkahku yang sedang menjajakan es lilin seperti biasa.

“Es lilin! Es lilin!” teriakku kencang sembari memanggul box es yang terbuat dari styrofoam. Keringat terus bercucuran membasahi kerudung putihku. Gerah terasa dibalik seragam putih biruku. Aku tak pernah malu walau harus menjajakan es lilin dengan seragam yang masih lengkap. Sekiranya aku masih bisa meringankan sedikit beban emakku dengan menjajakan es lilin buatannya.

Mbak yu, beli es nya” ujar bocah laki-laki berusia 5 tahun-an itu sembari menyondorkan pecahan Rp2.000

Niki le” balasku sembari memberikan 2 potong es lilin.

“Maturnuwun ya le” (terima kasih ya le)

Aku kembali berjalan menyusuri tiap gang di dekat sekolahku. Aku tak peduli walau banyak pasang mata yang menatapku kasihan bahkan aneh. Karena menjajakan es lilin dengan seragam yang masih lengkap. Ini memang rutinitas keseharianku jika es yang kubawa disekolah belum habis, aku akan berkeliling menjajakannya di area sekitar sekolah.

 

Aku baru menghempaskan tubuh kurusku di kasur tipis ini, saat adzan ashar berkumandang. Seketika itu emak datang ke kemar membawakan segelas jahe hangat dan sembari berkata,

Nduk, kamu ndak usah repot-repot keliling menjual es nya nduk. Kamu cukup jualan di sekolah saja. Biar kamu ndak capek nduk, jangan dipaksakan” ucap emak sambil mengelus dahiku yang berkeringat. Aku hanya mampu tersenyum membalasnya. Lagipula leahku tak seberapa dengan lelahnya emak dan abah yang harus membanting tulang sebelum fajar terbit hingga terbenam diufuk barat, hanya untuk memenuhi kebutuhanku beserta adikku.

Beberapa menit kemudian “Rara Ireng” terdengar suara dari ruang tamu, begitulah abah memanggil namaku. Nama Rara didapat abah dari nama kecil istri Arjuna yaitu, sang Dewi Wara Sembrada seorang tokoh pewayangan yang namanya sering disebut abah ketika memberiku petuah, kata Abah saat kecil sang Dewi dipanggil Rara Ireng karena memiliki kulit yang hitam, hal ini tentu sama seperti kulitku, namun kata abah rupa jelek dan hitamnya berangsur-angsur berubah menjadikan Rara Ireng sebagai putri yang sangat cantik jelita, selain cantik Rara Ireng juga memiliki tingkah laku yang sopan, tutur kata halus, dan budi pekerti yang luhur. Karena kesukaaan itulah, abah menyematkan nama Rara pada namaku “Rara Salma Wati”. Salama yang dalam bahasa arab berarti melindungi dan Wati dalam bahasa Jawa berarti perempuan, beliau beraharap kelak aku akan menjadi perempuan yang melindungi dan cantik seperti Dewi Wara Sembrada, dalam cerita abah Rara Ireng sebagai sosok putri yang cantik, jikalau berkumpul dengan putri-putri yang tersohor cantiknya, Rara Ireng melebihi kecantikan mereka semua itu. Panggilan Rara Ireng memang terkesan tepat untuk ku karena kulitku yang berwarna hitam gelap. Kulitku menjadi lebih hitam karena waktu kecil abah sering mengajakku memancing belut di sawah belakang rumahku, walau terik matahari panasnya membakar kulitku. Aku kecil tetap saja asyik memancing belut bersama abah, dipinggir-pinggir pematang sawah, abah selalu berkat

 “Rara jika nanti kelak tidak ada lauk di rumah, kamu bisa mencari belut dan memakan dengan nasi hangat, belut ini lumayan akan menganjal perutmu, selain memiliki vitamin A, B, dan C yang tinggi belut juga menjadi sumber protein, selain itu ada hal yang paling terpenting.”

 “Apa itu bah?” kataku penasaran.

 “kamu dapat mendapatkannya secara gratis” Abah berkata sambil tertawa terbahak-bahak, hingga rongga mulutnya terlihat sangat jelas, dan aku menyambut tawa abah dengan simpul senyumku. Namun hingga menginjak usia remaja saat ini pun tubuhku masih tetap hitam karena setia termakan teriknya mentari ketika menjajakan es lilin sepulang sekolah.

Nduk, kata abah

Nggih bah” kataku sambil menunduk,

“Sampean sing pinter nggeh. Nurut sama guru, pinter ngajinya, sampean harus jadi contoh buat adikmu nduk. Kamu harus sekolah tinggi biar bisa sukses dan bisa mencapai mimpimu.  Nanti kalau kamu besar kamu mau jadi apa nduk?

Kulo mau jadi dosen abah seperti Neng Firda” jawabanku mengundang senyuman lebar dari abah. Neng Firda merupakan guru ngaji di mushola dekat rumah kami, beliau sangat anggun dan manis, setiap petang neng Firda mengajarkan kami baca tulis Al-Qur’an, tajwid, dan kitab Risalatul Mahid yang isinya berisi tentang tata cara bagaimana perempuan menghitung masa haidnya, mensucikannya, dan larangan-larangan ketika saat kami mendapatkannya hal ini sangat berarti bagi kami para remaja yang baru mendapatkan haid pertama kami. Selain mengajar kami, setiap pagi Neng Firda menjadi salah satu dosen di UIN Maulana Malik Ibrahim Malang, sertiap pertanyaan yang terlontar dari kami dibabat dengan jawaban yang rasional dan milenial oleh beliau. Meski seorang dosen Neng Firda tidak enggan memberikan ilmu kepada kami walau terkadang hanya sewadah baskom beras yang diberikan emak dan beberapa amplop dari ibu wali murid sebagai imbalan telah memberikan ilmu kepadaku dan teman-teman yang dangkal ini.

“Diwujudkan nduk” aku hanya mengangguk mendengar penuturan abah.

Rasanya aku takkan pernah bisa mencapai mimpiku yang ingin menjadi dosen itu. Entahlah, apakah aku bisa mewujudkan mimpiku atau tidak. Untuk melanjutkan SMA saja rasanya mustahil bagiku, namun aku harus percaya dan kuat seperti Bisma, kata abah Bisma adalah putra kunti tokoh pewayangan yang paling kuat, aku harus kuat. Abah sangat gemar melihat wayang, banyak filosofi dan simbol-simbol yang ia ceritakan padaku, beliau selalu berkata dalam wayang yang diambil bukan hanya historisnya, namun simbolnya, dengan simbol tersebut aku akan bisa mengambil nila-nilai yang baik dari mereka. Kupikirkan dalam-dalam perkataan abah tadi sambil perlahan memejamkan mata, andai kerendahan ekonomi ini tidak menimpa pada keluarga kami mungkin aku tak perlu susah payah seperti layaknya remaja seusiaku, tapi Tuhan memang sudah menjatuhkan takdirnya kepadaku, maka patut ku terima dan kujalankan sekuat tenaga. Aku percaya kata abah roda akan berputar, hari ini kami berada dibawah, mungkin esok atau lusa kami bisa berada diatas, maka kuterbangkan mimipiku setinggi mungkin agar aku bisa bertengger pada roda yang teratas.

Keesokan paginya setelah sarapan dengan nasi hangat dan tempe, aku bersiap berangkat kesekolah.

“Emak! Dimana box esnya, Rara udah mau berangkat” ujarku, sembari menelisik tiap inci rumah kecil ini untuk mencari keberadaan emak. Akan tetapi betapa terkejutnya aku mendapati seorang yang kucari tergeletak lemah di dapur.

“Emak kenapa mak?!” aku yang panik mencoba menepuk-nepuk tubuh emak.

“Lho, nduk kenapa mak mu?” abah yang datang juga ikutan panik. Dengan sigap abah segera menggendong tubuh kecil emak yang terlihat lemas dan pucat di kursi kayu depan rumah. Abah segera berlari meminjam mobil tetangga sambil menitipkan Arjuna yang tidak tahu apa-apa. Ia menelentangkan tubuh kecil emak disana, aku masuk sembari memangku kepala emak. Abah segera melajukan mobil sedan itu di atas rata-rata. Abah memang ahli dalam menyupir, sebelumnya abah adalah juragan beras dan memiliki sawah yang luas, serta mobil bak merek Daihatsu, kata emak abah juga sempat menunaikan ibadah haji ketika aku berada dalam kandungan emak, namun sifatnya yang dermawan dan mudah percaya kepada orang merenggut semua harta kekayaannya. Abah tertipu dengan saudara sepupunya hingga tidak ada yang tersisa, beruntung kakak abah meminjamkan rumahnya yang sudah tidak ditempati untuk kami tinggali.

Nduk, apakah emakmu sudah sadar?” perkataan abah melamunkan pikiranku. 

“Terus bangunkan emakmu buat dia sadar” kulihat sorot kepanikan dari mata abah, air mataku yang tadi terbendung sudah tak tertahan. “Emak, bangun mak!”

 

Sesampainya di gedung serba putih itu, tubuh emak yang telah pucat pasi itu segera dibawa brankar menuju ruang UGD. Aku menatap nanar pemandangan tersebut, saat yang ada di pikiranku hanya, “Akankah aku masih melihat emak yang biasanya selalu ada untuk kami?”

Tubuh abah bergetar hebat setelah dari ruangan dokter. Menurut catatan medis emak mengalami gagal ginjal. Padahal menurutku selama ini emak baik-baik saja. Atau mungkinkan emak pura-pura baik-baik saja di depan kami. Aku ingat emak tidak akan tidur sebelum jam dua belas malam, beliau menuangkan air kacang ijo, dan beberapa rasa pada plastik dan mengikatnya dengan karet, lalu memasukkan pada kulkas yang emak kridit pada abang-abang yang tiap kamis selalu datang kerumah, untuk menagih uang mingguan tersebut.

Lalu beliau istirahat sekadarnya, sebelum adzan subuh berkumandang beliau bergegas memasakkan sarapan untuk kami semua, setelah itu dia mengasah clurit yang ia bawa untuk matun di sawah bersama ibu-ibu lainnya.

“Emak-emak apakah engkau begitu lelah?”

 Aku masih memeluk abah yang mukanya basah oleh air mata. Aku tak pernah menemui wajah abah yang kian menua itu memasang ekspresi selemah ini. Mungkin ini memang tamparan terkeras dalam hidup keluarga kami. Abah hanya bekerja sebagai guru ngaji sore anak-anak TPQ di mushola, setiap pagi beliau ikut menggarap sawah dan saat panen gabah (padi) beliau diminta untuk menyupiri hasil panen pak lurah untuk diantar ke selepan (tempat menyelep padi). Kami tak pernah berpikir bisa menjalani lika-liku hidup seperti ini, lalu darimanakah biaya untuk mengobati emak? Tanpa pengobatan pun keluarga kami sama saja membiarkan emak mati secara perlahan.

Dadaku nyeri tak kuasa menahan beban dalam hati. Abah masih memaksaku untuk pergi ke sekolah walau kondisi emak masih kritis. Kali ini aku berangkat dalam keadaan yang berbeda. Jika biasanya aku menggendong tas punggung penuh buku sambil memanggul box es. Kini aku tak sedang lagi memanggul box es karena si pembuat es-nya tengah terbaring lemah tak berdaya di rumah sakit.

“Lha si Ireng, tumben gak bawa wakul es mu” kata Andi sambil tertawa cengegesan.

“Udah naik pangkat nih, atau udah kaya? Gk jual es lagi? Hahhaha” Timpal Deni anak kelas VIII D yang memiliki perut besar persis tokoh wayang Semar, kata abah Semar memiliki bentuk fisik yang sangat unik, seolah-olah ia merupakan simbol penggambaran jagad raya. Tubuhnya yang bulat merupakan simbol dari bumi, tempat tinggal umat manusia dan makhluk lainnya. Semar selalu tersenyum, tetapi bermata sembab, hal ini tentu sangat berbeda dengan Deni, bibirnya cengegsan dan matanya selalu berbinar ketika mengejek teman-temannya, terutama kepadaku si Rara Ireng.

 

Aku terus berjalan tanpa menghiraukan, beberapa gerombolan siswi saling berbisik dan ada yang beberapa mencemoohku. Hatiku rasanya makin hancur dengan ucapan mereka. Walau memang aku sudah terbiasa dengan perlakuan mereka, tetap saja kata-kata merendahkan itu menyayat relung hati. Aku berusaha menahan genangan air yang sudah diujung pelupuk mata ini. Aku terus berjalan menuju kelas VIII A walau ditemani pandangan merendahkan di setiap lorong sekolah. Aku memang bukan gadis kaya dan cantik. Sekolah ini memang berisi anak-anak kalangan menengah keatas, aku beruntung sekolah disini karena salah satu teman abah bernama Pak Ryan, beliau menjadi komite sekolah ini, menawariku untuk masuk ke sekolah lewat jalur beasiswa bagi anak-anak kurang mampu. Pak Ryan kawan karib abah saat di pondok pesantern Lirboyo, kata Pak Ryan dulu abah tidak pernah pelit saat mengenyam pendidikan di pondok, sebagai balas budinya beliau selalu berbagi dengan keluarga kami.

“Hai Ra!” sapa Vanes  dengan penuh semangat dari depan kelas. Vanes adalah teman sebangkuku sejak kelas VII. Menurutku disini hanya dia satu-satunya orang yang dapat kupercaya sebagai teman.

“Rara kok sedih?” tanyanya sambil merangkul pundakku. Aku menggeleng kuat walau nyatanya air mata tak berhenti mengalir dari ujung mataku. Aku melepaskan rangkulannya dan duduk dibangkuku. Vanes lalu menyusul duduk di sebelahku sembari menopang dagu.

“Rara kenapa?” tanyanya lagi. Aku meruntuhkan pertahananku dan menangis sejadi-jadinya dalam lipatan kedua tanganku.

Vanes hanya mampu mengelus kedua pundakku yang berguncang hebat.

“Emak sakit gagal ginjal Nes” erangku di sela isak tangisku. Aku merasakan tangan Vanes yang menegang dan berhenti mengelus pundakku.

“Berat Ra....”

“Rara” ucapan Vanes terpontong oleh panggilan suara bariton. Sepontan aku mendongakkan kepalaku mencari siapa yang memanggilku. Pak Ryan, wali kelasku.

Aku menghadap Pak Ryan di ruang guru saat ini. Aku duduk berhadapan dengan mejanya.

“Ra, saya tau kamu punya potensi. Saya ingin kamu mengikuti OSN sebulan lagi” ujar Pak Ryan terasa ringan tanpa jeda saat mengucapkannya. Sambil menyodorkan kisi-kisi beserta contoh soalnya.

 

Aku kembali mengerjakan soal-soal yang diberikan Pak Ryan dengan beralaskan lantai kamar inap yang ditempati emak. Saat ini emak harus menjalani hemodialisis-cuci darah. Aku pun menunggui emak yang tengah terbaring lemah dengan beberapa selang menancap di tubuhnya.

“Nduk!” panggil emak sembari mencengkram erat pergelangan tenganku. Aku tahu pasti rasanya sakit, dengan selang yang menyedot darah emak lalu kemudian disaring dalam alat. Kuharap emak segera sembuh.

Inggih mak”

Kamu lagi opo toh serius temen?” (kamulagi apa kok serius banget?)

Niki mak, kalih Pak Ryan wau diutus ikut olimpiade mewakili sekolah”

Alhamdullilah, mandar menang yo ra, aku pingin anak emak oleh piala, ilmue manfaat dunyo lan akhirat”.

“inggih mak”

Aku kembali fokus membaca soal, sementara emak masih mencengkram tangan kiriku dengan erat.

“Emak, nanti Rara bakal berusaha buat memenangkan olimpiade ini guna membuat bangga emak” gumamku lirih dan masih dengan semangat mengerjakan soal-soal bertumpuk itu.

                                          ……………………

“Ra, kamu gak mau makan?” tawar Vanes. Aku menggeleng cepat.

“Ra, kamu jangan terlalu keras”

“Demi emak” jawabku singkat masih berkutat dengan tumpukan soal yang sudah selesai separuh. Lagi-lagi Vanes menyondorkan sebungkus roti padaku. Aku menggeleng pertanda menolak. Aku memang sedari tadi belum sarapan atau makan siang saat istirahat karena terlalu sibuk berkutat dengan tumpukan soal-soal itu.

                                        …………………………………..

“Abah, kok baru balik?” ucapku sembari mencium tangan abah yang sudah banyak keriput.

“Abah habis kerja”

Aku kembali menghembuskan napas. Sejak emak sakit, subuh pagi abah sudah berangkat bekerja ke sawah pak lurah, kadang pula beliau menjadi tukang sapu di balai desa, apa pun pekerjaannya akan abah lakukan demi biaya pengobatan emak dan bolak balik rumah sakit. Apalagi setiap minggu emak harus melakukan cuci darah.

“Dek, kamu udah makan?” aku mengelus puncak kepala adik laki-lakiku yang baru berusia 7 tahun. Arjuna menggeleng, raut wajahnya nampak murung. Mungkin Arjuna juga merindukan emak dan sangat berat untuk melihat emak terbaring tak berdaya di brankar rumah sakit, sudah 3 hari ini adik dititipkan pada pakde dan bude.  Aku harus tenang layaknya Yudistira, kata Abah Yudistira sangat tenang, dia mampu menyembunyikan segala kegelisahannya.

 

Tanpa terasa, waktu berlalu begitu singkat. 1 bulan telah berlalu, dan emak masih tetap berbaring lemas di bankar rumah sakit, untung ada BPJS program pemerintah yang meringankan biaya pengobatan emak setelah abah mengurus segala administrasinya, hari ini adalah hari dimana aku akan melaksanakan Olimpiade Sains Nasional bersama 3 rekanku lainnya. Pak Ryan berusaha meyakinkanku bila hasil kerja kerasku selama ini tidak akan sia-sia.

“Ra, saya yakin kamu bisa. Saya sudah melihat kerja kerasmu selama ini yang selalu tekun mengerjakan latihan soal” aku mengangguk menanggapi ucapannya. Aku harap lomba ini bisa berjalan sesuai dengan yang aku harapkan.

“Bagi peserta olimpiade sains nasional diharapkan segera memasuki ruang masing-masing” suara pengeras suara membuat jantungku berdebar tak karuan. Aku sudah bekerja keras siang dan malam untuk pertarungan ini, aku percaya “man jadda wajada” siapa yang bersungguh-sungguh akan mendapatkan hasil yang maksimal.

Setelah memasuki ruang masing-masing. Pengawas olimpiade membagikan soal-soal yang telah disediakan. Tanganku begitu bergetar menerima soal tersebut. Ya Tuhan, kuharap kau mendengar semua doaku. 120 menit aku sibuk berkutat dengan soal-soal tersebut, menuliskan tiap angka dan huruf di lembar jawaban. “Ya Tuhan, kupasrahkan semua padamu.”

Sambil menunggu pengumuman, Pak Ryan memberikan nasi kotak dan teh botol, terlihat kehawatiran di raut mukanya, namun aku belum bisa menebak apa yang terjadi. 10 menit kemudian pengumuman, tidak ada penyebutan pada urutan ketiga dan kedua untuk namaku. Akan tetapi, pada urutan pertama dengan suara yang lantang “Rara Salma Wati” aku kaget dan bingung benarkah namaku yang mereka sebut. Dengan tidak sabar Pak Ryan segera mengajakku naik kepodium untuk mendapatkan piala dan uang pembinaan. Jantungku berdebar kencang memegang kertas sertifikat hasil olimpiade. Namun, air mata justru mengucur deras ke pipiku. Bukan, ini bukan tangisan kesedihan, ini adalah tangis kemenangan melawan malas dan peperangan sebulan yang sudah aku lakukan.

Setelah di bawah podium Pak Ryan mengatakan bahwa aku harus segera ke rumah sakit, 30 menit tadi emak mengalami masa kritisnya, hal ini berarti dia juga sedang berjuang sama sepertiku, aku segera berlari dan menaiki angkot jurusan rumah sakit emak.

Di depan pintu kamar emak, kulihat abah sedang dipeluk pakde sambil menangis, entah apa yang mereka bicarakan, aku terus berjalan menuju bankar emak dengan bahagia, aku memeluk tubuh emak yang semakin hari semakin kurus dan lemah. Lengan tangannya dipenuhi luka lebam akibat hemodialisis. Melihat kondisinya saja membuat relung hatiku teriris. Kudekati muka emak dan hendak menciumnya, ingin aku ceritakan bahwa hari ini aku telah menang dalam sebuah peperangan namun aku heran mengapa emak tidak bergerak dan mukanya terlihat sangat pucat. Belum sempat aku berbalik badan dan bertanya. Abah memelukku dari belakang dan mengatakan bahwa emak sudah tidak ada.

Innalilahi wa inna illaihi rojiun

Jantungku bergetar, nafasku berhenti beberapa detik.

“Ya Tuhan, tolong jangan ambil emak sekarang”.

“Emak, jangan tinggalin Rara. Buat apa kerja keras Rara selama ini kalau emak udah pergi. Buat apa Rara belajar keras kalau bukan buat emak”

 

Aku tak sadarkan diri, aku tak tahu bagaimana proses pemulasara dan pemakaman emak. Kata orang-orang aku hanya bangun dan pingsan berkali kali. Untung emak dikebumikan di makam keluarga dekat rumah hanya terjeda beberapa petak sawah yang ditanam tebu oleh pemiliknya.

Abah mengajak ku berziarah ke makam emak, setelah melihat kodisiku yang mulai pulih, ku ucapkan salam kepada pusara emak yang masih basah dan harum bunga.

“Untuk yang kucintai emakku, ku hadiakan bacaan surat yasin sebagai doa kemudahan jalanmu. Maafkan anakmu yang belum bisa membahagiakanmu, aku tahu seumur hidupmu kau hidup dalam kemiskinan tapi kekayaan hati abah dan kesholehannya membuatmu tetap kuat dan bahagia, kemarin aku telah menang mak, engkau berkata ingin melihatku mendapat piala. Akuu akan menjadi anak yang baik mak, meski engkau ditempat yang berbeda engkau bisa melihatku bahagia. Emak akan kuwujudkan mimpi. Abah akan ku bahagiakan mak, sebagaimana abah berbahagia dengan kehadiranmu mak, aku akan merawat dan menjaga Arjuna mak, seperti dewi kunti merawatnya dan mengabulkan nama Salma yang tersemat dalam namaku, aku Rara Ireng mak, akan menjadi Dewi Subadra, yang memiliki hati yang lapang dan luas”. Kata-kata itu meluncur begitu saja diiringi isak tangisku.

.

Jadilah anak yang rajin tur manut nggeh nduk, abah akan selalu mendoakanmu” ucapnya sembari memeluku dengan erat.

Kutatap pohon tebu sambil membalas pelukan erat Abah, kata abah pohon tebu punya filosofi mantep ing kolbu. (Memantapkan dalam hati) Kumantapkan hatiku untuk berjuang membahagiakan Abah, Emak dan Arjuna.

Setibanya di rumah telah hadir Pak Ryan dan teman-teman sekalas. Mereka mengucapkan selamat sekaligus belasungkawa atas kematian emak, Pak Ryan juga menyerahkan hadiah senilai Rp 5.000.000 kepadaku hasil dari kemenangan Olimpiade Nasional, pihak sekolah bersepakat untuk memebreikan uang pembinaan itu sepenuhnya, mereka juga memberikan beberapa amplop dari komite dan iuran teman-teman satu sekolah. Kuserahkan amplop itu kepada Abah. Namun kata abah aku lah yang berhak menyimpannya, uang ini akan digunakan untuk pendidikanku jenjang berikutnya. Ku lihat kebahagiaan dari raut muka abah yang menutupi rasa lelah dan sedihnya.

Emak, disana pasti bangga nduk punya cah wadon kayak kamu” Kata Abah sambil memelukku dengan erat, yang kurasakan hanya kerinduan yang mendalam terhadap emak, dalam hatiku aku berjanji Abah dimasa tuamu nanti kamu akan bahagia menikmati hasil panen didikanmu terhadapku.

Komentar

Cerita yang sangat luar biasa dengan penulisan yang lugas dan cerdas Pemilihan diksi dan plot ceritanya sangat lugas dan sanggup membawa pembaca terbawa dalam cerita Pesan moralnya juga sangat bagus Tetap semangat anda adalah penulis yang hebat

Komentari Tulisan Ini
Tulisan Lainnya
JUARA 1 LOMBA POSTER DIGITAL TINGKAT NASIONAL

YPM. AL-RIFA'IE 2SMP MODERN AL-RIFAIE=•=•=•=•=•=•=•=•=• Tahniah...Siswa SMP MODERN AL RIFA IE berhasil meraihJuara 1 Lomba Poster Digital T

30/05/2022 15:31 - Oleh Administrator - Dilihat 1967 kali
PUISI

SELAMAT DATANG MASA DEPAN Karya Ananda Laila Nazwa Sholiqa   Sebagian orang berkata bahwa tumbuh dan dewasa itu indah Diwarnai kisah cinta, kata sayang dan hura-hura Apakah ki

28/04/2022 10:03 - Oleh Administrator - Dilihat 698 kali